Oleh Hisyam faruq, Mahasiswa Inaifas kencong
Selama ini, Pesantren yang berasal dari dua suku kata ‘pe’ artinya tempat dan ‘santren’ atau santri, tempat santri, lebih sering dikaitkan dengan tempat pendidikan agama-agama sebelum Islam yang ada di Indonesia (Hindu/Budha). Seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa pesantren berasal dari kata santri. Kata ini berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji. Ada juga yang mengatakan dari katan shastri yang dalam bahasa India memiliki arti orang yang tahu buku-buku agama suci Hindu. Juga ada pendapat yang menyebutkan kata shastri ini berasal dari kata shastra yaitu buku suci, buku agama dan pengetahuan.
Nurcholis Madjid, walaupun agak berbeda sedikit dengan pendapat di atas, masih menjelaskan pesantren dari asal katanya yaitu santri, menurutnya adalah orang-orang yang melek huruf, bisa membaca kitab-kitab bahasa arab, paling tidak bisa membaca Al-Qur’an. Juga ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bahasa jawa cantrik, yaitu orang yang selalu mengikuti seorang guru, kemanapun guru itu pergi dan menetap yang dalam tradisi pewayangan bertujuan untuk mempelajari suatu keahlian.
Dalam menjelaskan elemen yang membangun sebuah pesantren, Mastuhu menyebutkan beberapa hal yaitu kiai, pondok, masjid dan pengajaran kitab klasik. Sepertinya dari sinilah Yakhsyallah memulai penelitian tesisnya. Baginya ketika Rasulullah berada di Madinah, sebelum membangun sebuah kota yang menjadi awal peradaban Islam. Beliau telah membangun pusat pendidikan pesantrennya sendiri yang disebutnya dengan Ash-Shuffah. Bagi penulis buku ini, seluruh aktivitas Rasulullah merupakan teladan yang harus diikuti, termasuk dalam masalah pendidikan, dari tangan dingin beliaulah, lahir pribadi-pribadi unggul yang mampu mewarnai peradaban dunia, melakukan pembebasan dari kesyirikan dan penindasan dibanyak tempat. Sampai michael hart, memposisikannya diurutan pertama 100 tokoh yang mengubah dunia.
Selain faktor pribadi Rasulullah, baginya metode pengajarannya pun sangat moderen yaitu metode at-tanwi’ wa at-taghyir, atau metode bervariasi. Dengan metode ini seluruh potensi para santrinya yaitu para sahabat bisa tumbuh dan berkembang dengan maksimal. Maka betullah apa yang dikatakan KH. Imam Zarkasyi, metode lebih penting dari materi, tapi guru dan jiwa guru lebih penting dari metode dan materi.
Apabila elemen-elemen yang membangun pesantren kita qiyaskan ke dalam kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah, maka akan kita temukan bahwa Rasulullah adalah seorang kiai, para sahabat sebagai santri, Al-Qur’an dan hadits sebagai materi, masjid Nabawi sebagai tempat pendidikan dan pondokan, karena sebagian para sahabat merupakan ashabu ash-Shuffah yang tinggal di pelataran masjid Nabawi seperti Abu Hurairah, Suhaib ar-Rumi, Salman al-Farisi, Bilal bin Rabah dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam makalahnya yang berjudul “Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam” Hamid Fahmy Zarkasyi menyebutkan dalam tradisi intelektual Islam, komunitas ilmuwan itu berkembang secara bertahap. Komunitas ilmuwan yang paling awal dan berfungsi sebagai medium transformasi ilmu pengetahuan wahyu adalah Bait al-Arqam. Namun yang lebih efektif dari itu adalah al-Suffah, yang artinya beranda atau serambil masjid dan komunitas intelektualnya disebut ashabu ash-Shuffah.
Tujuan utama ashabu ash-Shuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Bagi Hamid karena objeknya adalah wahyu maka materi pembelajaran ashabu ash-Shuffah lebih luas dan kompleks. Oleh sebab itu, materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).
Apik gelange
BalasHapus